Konflik di Gaza adalah salah satu konflik paling kompleks dan berkepanjangan dalam sejarah modern. Sebagai bagian dari konflik yang lebih luas antara Palestina dan Israel, situasi di Gaza telah menjadi medan pertarungan bukan hanya antara dua entitas politik, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung selama beberapa dekade.
Dalam beberapa bulan terakhir, dunia telah menyaksikan babak baru dari konflik ini, yang dimulai dengan operasi “Badai AlAqsha” atau “Taufan Al-Aqsha,” sebuah serangan besar-besaran yang diluncurkan oleh pasukan perlawanan Palestina sebagai tanggapan terhadap eskalasi kekerasan dan pendudukan yang semakin brutal oleh Israel.
Sejak blokade Israel atas Gaza dimulai pada tahun 2007, kehidupan di wilayah tersebut telah menjadi mimpi buruk bagi lebih dari dua juta penduduknya. Gaza, yang sering digambarkan sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia,” menghadapi krisis kemanusiaan yang berkepanjangan akibat pembatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.
Dalam 15 tahun terakhir, Israel telah meluncurkan serangkaian operasi militer besar di Gaza, yang menghancurkan infrastruktur, merenggut ribuan nyawa warga sipil, dan memperburuk penderitaan penduduk.
Operasi “Badai Al-Aqsha,” yang dimulai pada 7 Oktober 2024, adalah respons langsung dan terencana dengan sangat matang terhadap provokasi Israel di wilayah Al-Quds (Yerusalem) dan rencana penghancuran Masjid Al-Aqsha, tempat suci umat Islam yang sering menjadi sasaran penggerebekan dan profokasi oleh pemukim ilegal Israel.
Operasi ini menjadi titik balik dalam dinamika konflik PalestinaIsrael karena menunjukkan kemampuan pasukan perlawanan di Gaza untuk melawan salah satu entitas militer yang konon terkuat di dunia dengan strategi yang terorganisir dan dukungan penuh dari rakyatnya.
Selama hampir tiga bulan pertama pertempuran sengit, dunia menyaksikan bagaimana Gaza mampu bertahan di bawah tekanan militer yang luar biasa, meskipun menghadapi kehancuran besarbesaran. Serangan udara Israel menghancurkan ribuan rumah, sekolah, dan fasilitas kesehatan.
Namun, di tengah kehancuran ini, semangat perlawanan rakyat Gaza tidak pernah goyah, bahkan setelah 12 (dua belas) bulan dibombardir brutal bermotif genosida. Hingga akhirnya, pada 19 Januari 2025 (15 bulan setelah serangan Taufan Al-Aqsha), kesepakatan gencatan senjata diumumkan, yang secara luas dianggap sebagai kemenangan simbolis bagi Palestina, khususnya pejuang Gaza.
Artikel ini bertujuan untuk menyoroti pengakuan berbagai pihak terhadap kegagalan mereka dalam perang Gaza dan menunjukkan bagaimana narasi dari pengamat, militer, dan politisi Israel mengkonfirmasi kemenangan simbolis Palestina.
Dalam analisis ini, kita akan melihat bagaimana pernyataan-pernyataan mereka mengungkap dinamika internal di Israel, termasuk kritik terhadap pemerintah Netanyahu, ketidakpuasan rakyat Israel terhadap militer mereka, dan kekhawatiran tentang masa depan konflik ini.
Melalui pengamatan ini, artikel ini juga bertujuan untuk menggugah kesadaran tentang pentingnya solidaritas internasional terhadap rakyat Palestina. Pengakuan dari pihak Israel seharusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan, meskipun berat, tidaklah sia-sia.
Seperti yang sering diungkapkan oleh rakyat Gaza, “Pengorbanan kami tidak sebanding dengan kemuliaan Masjid Al-Aqsha dan kemerdekaan Palestina.”
Kesepakatan Damai dan Kemenangan Simbolis Gaza
Kesepakatan damai yang dicapai pada awal tahun 2025 membawa angin segar bagi rakyat Gaza. Gencatan senjata ini mencakup beberapa poin penting, termasuk penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Gaza, penghentian operasi militer di Koridor Netzarin, dan komitmen untuk membangun kembali infrastruktur Gaza yang hancur.
Bagi banyak pihak, kesepakatan ini lebih dari sekadar perjanjian diplomatik. Ini adalah pengakuan atas ketahanan rakyat Gaza dan ketidakmampuan Israel untuk mencapai target militernya.
Dalam konteks ini, pernyataan dari tokoh-tokoh Israel, baik dari kalangan militer, politik, maupun pengamat independen, menjadi cermin yang menarik untuk dipelajari. Pengakuan mereka tentang kegagalan Israel dalam perang Gaza bukan hanya mengungkap kelemahan strategis, tetapi juga memberikan validasi terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Salah satu contoh adalah pernyataan Mayjen Giora Eiland, mantan kepala Majelis Keamanan Nasional Israel, yang secara terang-terangan menyebut perang ini sebagai “kegagalan Israel di Gaza.” Pengakuan seperti ini memperkuat narasi bahwa perlawanan Palestina tidak hanya berhasil bertahan, tetapi juga berhasil menggoyahkan klaim keunggulan Israel dalam aspek militer dan politik.
Mengapa pengakuan ini penting? Dalam konflik seperti ini, narasi dan opini publik memainkan peran yang sangat besar. Selama bertahuntahun, Israel telah mempromosikan dirinya sebagai kekuatan militer yang tak terkalahkan di Timur Tengah, didukung oleh aliansi kuat dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.
Namun, pengakuan kegagalan dari tokoh-tokoh Israel sendiri menggugurkan mitos tersebut dan menunjukkan bahwa bahkan militer terkuat pun memiliki batas, bahkan kelemahan. Lebih jauh lagi, pengakuan ini memberikan semangat baru bagi perjuangan rakyat Palestina.
Fakta bahwa pemimpin militer dan politik Israel mengakui keberhasilan Hamas dalam mencapai targetnya, mempertahankan kekuasaan di Gaza, dan bahkan meningkatkan dukungan rakyatnya, adalah bukti bahwa perjuangan ini memiliki dampak nyata. Seperti yang dikatakan oleh Yoav Stern, seorang penulis dan pengamat Yahudi, “Kemunculan pasukan Hamas di tengah masyarakat saat menyerahkan tawanan ke Palang Merah Internasional merupakan bukti bahwa Hamas tidak bisa ditumpas bahkan setelah berbulan-bulan perang.” Bersambung >>>
**********
Penulis: Ustaz Abu Salman
Leave a comment