Dalam sejarah panjang konflik Palestina-Israel, pertempuran di Gaza selalu menjadi salah satu ujian terberat bagi Israel. Gaza, dengan segala keterbatasannya akibat blokade dan tekanan militer, telah menjadi simbol perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan yang sistematis.
Namun, di balik propaganda resmi dan narasi tentang keunggulan militer Israel, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Israel telah berulang kali mengalami kegagalan strategis di Gaza. Perang terakhir, yang dimulai dengan operasi “Badai Al-Aqsha” dan berakhir dengan gencatan senjata pada Januari 2025, menjadi bukti nyata dari kegagalan tersebut.
Kegagalan di Gaza
Israel memulai perang ini dengan serangkaian target ambisius yang mencerminkan keyakinan mereka akan superioritas militer. Target utama mereka mencakup:
Menumpas Hamas secara militer
Israel telah lama menjadikan Hamas sebagai musuh utama di Gaza. Dengan berbagai operasi militer yang diluncurkan, mereka berharap dapat menghancurkan infrastruktur militer Hamas, melemahkan kemampuan mereka untuk meluncurkan serangan, dan membubarkan struktur kepemimpinannya.
Namun, setelah beberapa belas bulan peperangan intens, bahkan tahunan jika diakumulasi sejak sebelum 7 Oktober 2024, hasilnya jauh dari harapan. Hamas tidak hanya bertahan, tetapi juga menunjukkan ketahanan luar biasa di tengah serangan udara dan darat yang masif.
Merebut kembali kendali atas Gaza
Sejak Hamas mengambil alih Gaza pada 2007, Israel terus berusaha untuk menggulingkan kekuasaan mereka, baik melalui tekanan militer maupun strategi politik. Namun, perang ini kembali menunjukkan bahwa merebut Gaza bukanlah tugas yang mudah.
Serangan Israel, meskipun menghancurkan banyak infrastruktur, gagal mematahkan kekuasaan Hamas atau mengubah realitas politik di wilayah tersebut. Mengganti kekuasaan di Gaza dengan pemerintah yang lebih kooperatif.
Salah satu tujuan politik utama Israel adalah menghilangkan pengaruh Hamas dan menggantinya dengan pemerintah Palestina yang dianggap lebih kooperatif. Namun, dukungan rakyat Gaza terhadap Hamas justru meningkat selama perang, seperti yang diakui oleh beberapa pengamat Israel. Keinginan Israel untuk mengendalikan Gaza melalui cara ini tidak hanya gagal, tetapi juga memicu kritik internal terhadap kebijakan mereka.
Melemahkan dukungan rakyat Gaza terhadap perlawanan
Strategi Israel sering kali melibatkan tekanan kolektif terhadap penduduk Gaza dengan harapan bahwa penderitaan mereka akan memutuskan dukungan terhadap Hamas. Namun, dalam perang ini, efek yang terjadi justru sebaliknya. Dukungan rakyat terhadap Hamas semakin kuat, menjadikan mereka simbol perlawanan dan ketahanan terhadap penindasan.
Selain itu, gencatan senjata yang dicapai pada Januari 2025 juga dipandang oleh banyak pihak di Israel sebagai bentuk kelemahan taktis. Perjanjian tersebut, yang mencakup penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza dan penghentian operasi militer di Koridor Netzarin, tidak hanya menegaskan ketidakmampuan Israel untuk mencapai target militernya, tetapi juga memberikan ruang bagi Hamas untuk kembali memperkuat posisinya di wilayah tersebut.
Pernyataan-Pernyataan Pengamat Israel
Keberhasilan Hamas dalam mempertahankan posisinya di Gaza tidak hanya diakui oleh rakyat Palestina, tetapi juga oleh pengamat, militer, dan politisi Israel sendiri. Pernyataan-pernyataan ini memberikan wawasan tentang bagaimana kegagalan Israel dipahami dari perspektif internal mereka:
Yoav Stern: Hamas tidak dapat ditumpas meskipun perang berlangsung lama Yoav Stern, seorang penulis dan pengamat Yahudi, secara terbuka mengakui bahwa Hamas adalah kekuatan yang tidak dapat dihancurkan oleh Israel, bahkan setelah berbulan-bulan peperangan intens.
Dalam pernyataannya, ia menyoroti momen simbolis ketika pasukan Hamas muncul di tengah masyarakat untuk menyerahkan tawanan ke Palang Merah Internasional. Menurut Stern, pemandangan tersebut adalah bukti bahwa Hamas tetap berdiri kuat meskipun menghadapi tekanan militer yang luar biasa.
“Kemunculan pasukan Hamas di tengah masyarakat saat menyerahkan tawanan adalah bukti lain bagi yang menginginkan bukti bahwa Hamas tidak bisa ditumpas bahkan setelah berbulan-bulan perang,” ungkap Stern.
Pernyataan ini menggambarkan ketidakberdayaan Israel untuk benar-benar menghilangkan ancaman yang mereka anggap berasal dari Hamas, sekaligus menunjukkan bahwa narasi tentang keunggulan militer Israel tidak selalu sesuai dengan realitas di lapangan.
Enav Halabi: Rekrutmen dan dukungan masyarakat Gaza untuk Hamas Enav Halabi, seorang jurnalis Israel yang meliput urusan Palestina, mencatat bagaimana Hamas berhasil meningkatkan kekuatannya selama perang.
Ia mengungkapkan bahwa dalam dua pekan terakhir perang, Hamas mampu merekrut lebih dari 4.000 pejuang baru. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun Gaza dihancurkan oleh serangan udara dan darat, semangat perlawanan rakyatnya tidak pernah padam. Halabi juga mencatat dukungan masyarakat Gaza terhadap Hamas yang terlihat jelas melalui teriakan dukungan di berbagai wilayah Gaza.
“Kita juga melihat teriakan dukungan dari masyarakat kepada tentara Hamas,” katanya. Hal ini menjadi bukti bahwa strategi Israel yang bertujuan untuk melemahkan semangat rakyat Gaza justru menghasilkan efek sebaliknya.
Mayjen Giora Eiland: Hamas menang dengan tetap mempertahankan kekuasaan salah satu pengakuan paling signifikan datang dari Mayjen Giora Eiland, mantan kepala Majelis Keamanan Nasional Israel. Dalam analisisnya, Eiland secara gamblang menyebut perang ini sebagai kegagalan Israel.
“Perang ini adalah kegagalan Israel di Gaza,” katanya. Eiland menekankan bahwa Hamas tidak hanya berhasil menggagalkan target Israel, tetapi juga mencapai target mereka sendiri, yaitu mempertahankan kekuasaan di Gaza.
Eiland juga menyoroti kemampuan Hamas untuk tetap memperkuat dirinya meskipun menghadapi tekanan militer yang intens. Ia mengingatkan bahwa jika Israel mencoba untuk menghalangi upaya Hamas dalam membangun kembali kekuatannya, mereka akan melanggar kesepakatan damai, yang pada gilirannya dapat memicu konflik baru.
Pengakuan Eiland menggarisbawahi realitas strategis yang sulit dihadapi Israel: meskipun memiliki keunggulan militer yang signifikan, mereka tidak mampu menghancurkan Hamas atau menggoyahkan dukungannya di antara rakyat Gaza.
Implikasi dari Pengakuan-Pengakuan Ini
Pengakuan dari pengamat dan tokoh Israel tentang kegagalan mereka di Gaza memberikan wawasan yang berharga tentang dinamika konflik ini.
Pertama, pengakuan tersebut menunjukkan bahwa narasi tentang superioritas militer Israel tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan di lapangan. Meskipun Israel memiliki salah satu militer terkuat di dunia, mereka tetap menghadapi tantangan besar ketika berhadapan dengan perlawanan yang terorganisir dan didukung penuh oleh rakyatnya.
Kedua, pengakuan ini juga memperkuat narasi tentang kemenangan simbolis Gaza. Meskipun infrastruktur Gaza hancur dan rakyatnya menderita, kemampuan Hamas untuk bertahan dan tetap mempertahankan dukungan rakyatnya adalah bukti bahwa perjuangan mereka memiliki dasar yang kuat.
Ketiga, pernyataan-pernyataan ini menggambarkan krisis internal yang dihadapi Israel. Kritik terhadap pemerintah Netanyahu dan ketidakpuasan rakyat Israel terhadap militer mereka mencerminkan ketegangan yang semakin besar di dalam negeri. Ini menunjukkan bahwa meskipun Israel secara eksternal dianggap sebagai kekuatan yang solid, mereka menghadapi tantangan serius dari dalam.
Dalam konteks ini, narasi kegagalan yang diakui oleh pihak Israel sendiri menjadi cerminan dari dinamika konflik yang lebih luas. Konflik ini bukan hanya tentang kekuatan militer, tetapi juga tentang semangat, ketahanan, dan dukungan rakyat. Gaza, meskipun kecil dan dikepung, telah menunjukkan bahwa perlawanan yang didasarkan pada keyakinan dan dukungan rakyat dapat mengimbangi kekuatan militer yang jauh lebih besar.
Dengan pengakuan-pengakuan ini, dunia telah menyaksikan bahwa perjuangan rakyat Gaza bukanlah perjuangan yang sia-sia. Sebaliknya, ini adalah perjuangan yang telah menggoyahkan mitos tentang superioritas militer Israel dan memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina untuk terus melanjutkan perjuangan mereka demi kebebasan dan keadilan.
Kegagalan Israel dalam perang terakhir di Gaza tidak hanya mencerminkan kekalahan militer, tetapi juga menyoroti krisis politik dan strategis yang melanda pemerintahan mereka. Dalam konflik yang berlangsung selama beberapa bulan ini, kegagalan untuk mencapai target utama telah memicu gelombang kritik internal terhadap kebijakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan struktur kekuasaan di Israel.
Selain itu, kesepakatan damai yang dihasilkan melalui gencatan senjata pada Januari 2025 dipandang oleh banyak pihak di Israel sebagai keputusan yang memperlemah posisi strategis mereka di wilayah tersebut.
**********
Penulis: Ustaz Ir. Muhammad Agung Bramantya, S.T., MT., M.Eng., Ph.D., IPM., ASEAN Eng
(Lecturer in Mechanical Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada (UGM), Assistant Professor of Mechanical Engineering, Universitas Gajah Mada (UGM), dan Ketua Ikatan Cendekiawan Wahdah Islamiyah (ICWI))
Leave a comment